Kata
terengkuh dalam balutan fajar mendekap pagi.
Tercurah
di tiap tetes embun sentuh jemari dedaunan.
Ah,
tegur sapa yang indah
Pada siapa lagi
aku bisa mencurahkan segala sesak dunia yang membutakan jika bukan pada Dzat
yang jiwaku ada dalam genggaman-Nya. Pada siapa lagi aku mengadu jika bukan
pada Dzat yang hidupku tergantung pertolongan-Nya. Pada siapa lagi aku memohon
jika bukan kepada Dzat yang Maha mengabulkan permohonan hamba-Nya. Pada siapa
lagi air mata ini tak terbuang sia-sia jika bukan karena penghambaanku
kepada-Nya. Pada siapa lagi sujud ini punya arti jika bukan bersujud kepada-Nya.
Ya, kepada-Nya yang jiwaku ada dalam genggaman-Nya, yang hidupku karena-Nya,
yang bahagiaku Dia yang cipta. Semua karena-Nya yang Esa.
Beratus jejak berkarat tertimbun
debu membeku. Jika bukan karena kasih ampun-Nya kepada kita dosa-dosa
menggunung tak kan tergadai walau dengan seribu sujud yang raga ini telah rubuh
karenanya. Walau langkah terseok menuju bakti nan suci memuji-Nya. Bahkan
dengan pedang terhunus menancap di dada pun tak kan mampu menghapus karat-karat
dosa ini.
Hening. Pada fajar ini ku temukan
kedamaian merasuki jiwaku terdalam. Aku rindu ayat-ayat Tuhan. Aku rindu
berbicara pada-Nya. Aku rindu kala kening mencium sajadah dengan air mata tanpa
paksa. Aku rindu kala air mata membasahi pipi meratapi dosa. Aku rindu ketenangan
seperti ini.
Mungkin aku tak kan bosan mengulang
bait-bait do’a dengan lidahku yang kalu. Biarlah. Aku tak ingin waktu ini
merenggang. Aku ingin di waktu ini, menikmatinya. Agar mampu ku maknai setiap
nyawa yang bukan hanya sekedar nafas tanpa makna, atau hidup tak hanya sekedar
tangisan tanpa suara. Di waktu ini aku memahami, aku hanya seonggok daging yang
diberi nama. Lantas apa jadinya seonggok daging itu tanpa tahu ia berasal dari
mana dan mau kemana.
0 comment:
Posting Komentar