Senin, Februari 4

Seindah Irama Nadimu, Ibu

olehh Yulia Gustina Nasrul di 2/04/2013 04:01:00 AM




Setapak demi setapak, raga kecilku ini telah menginjakkan sebuah catatan di hamparan bumi yang tiada bertepi ini. Telah ku lalui hidup ini dengan penuh perjuangan. Setiap langkahnya meninggalkan sebuah kenangan yang mewarnai setiap jejak itu. Entah sudah berapa langkah yang telah ku lalui dalam hidup ini. Entah berapa jejak kaki yang telah terukir dalam perjalanan hidupku. Semua terasa begitu cepat dilalui.
Selama Sembilan bulan sepuluh hari sebelum aku bisa merasakan ni’matnya bernafas bebas, melihat segala keindahan dunia ini, aku telah ada dalam ruang gelap tanpa cahaya di dalam rahim ibuku. Mulai dari setetes nutfah, segumpal darah, segumpal daging, tulang – tulang, daging pembalut tulang hingga wujud yang bentuknya lain. Pada saat itu, aku memulai jejak hidup dan perjuanganku. Sembilan bulan aku hidup bersama dengan seorang ibu dalam satu raga. Saat ibu merasakan manisnya susu, aku pun merasakan manisnya. Saat ibu memakan makanan yang enak, aku pun merasakan enaknya. Hari berganti  minggu, bulan demi bulan pun dilewati ibu. Aku masih di dalam ruang hampa tanpa suara itu. Terlelap dalam lamunan panjang yang akan segera berakhir ketika aku lahir ke dunia nanti.
Keadaan pun sudah jauh berbeda dari keadaan semula. Kini, usiaku dalam kandungan sudah semakin tua. Disinilah, detik – detik kelelahan menghampiri ibundaku tercinta. Demi aku, anak yang diharapkannya, ia tulus merawatku dalam kandungannya, mengorbankan jiwa dan raganya. Lelah dan letih selama mengandungku, tak pernah dijadikan beban dalam hidupnya.  Dengan kebesaran hati dan kesabarannya, ia redamkan letih penat yang menggelayuti, ia singkirkan rasa capek yang selalu menyelimuti raganya. Susahnya berjalan karena kandungannya yang semakin besar, tak dihiraukan.
Hingga tiba waktu perjuangan dan pengorbanan terbesar dan terberat dalam hidupnya, yaitu pada saat melahirkanku. Meregang nyawa, keringat bercucuran, urat nadinya bertarung melawan lelah. Ibu berjuang antara hidup dan mati. Aku menyadari bahwa saat itu kaki ibu antara kematian dan kehidupan. Mencoba mengerahkan semua tenaganya, terus dan terus tanpa rasa lelah. Semua itu demi aku. Agar aku dapat melihat warna warni dunia ini. Semua itu pun dilakukan dengan penuh keikhlasan. Pengorbanannya, perjuangannya adalah hidupku.
Belum berakhir jejak – jejak hidupku bersama ibu. Setelah aku lahir, aku pun masih tetap bersama ketulusannya. Hidupku pun masih menyusahkannya. Bahkan, tanpa sosoknya pun aku tak bisa berbuat apa – apa. Saat seorang manusia kecil untuk pertama kalinya menangis, membuat gaduh suasana rumah, menjadikan seisi rumah penuh dengan warna kebisingan oleh tangisan dan teriakanku. Namun, semua sabar, semua peduli, bahwa  aku adalah raga kecil yang belum tahu apa – apa. Semua begitu mengerti aku.
Tangisan kecilku ditengah malam yang sunyi, membangunkan lelap tidurnya yang lelah. Tak peduli akan penat itu, ia tetap terjaga dan kembali melihatkan ketulusan kasihnya yang tak terhingga.  Aku kecil tak tahu akan hal itu. Aku belum mengerti apa – apa. Aku hanya makhluk kecil yang baru diberi izin melihat dunia. Aku hanya tetap menangis dan menyusahkan ibundaku, walaupun ia tak merasa disusahkan. Malam menjadi saksi, pengorbanan ibu yang sangat tulus itu.
Secuil  aku kecil bercerita tentang masa – masa itu, belum putus ketulusan dan pengorbanan ibu. Saat aku beranjak remaja, ibu yang mengajari aku bagaimana aku harus bertata karma, bagaimana aku harus bergaul, bagaimana aku harus menyikapi lingkunganku, bagaimana aku harus mandiri dan bagaimana aku harus hidup dengan tidak berlebihan. Lebih dari itu, ibu mengajari aku dari apa yang tidak aku tahu. Semua dilakukan ibu dengan tulus dan ikhlas, tanpa pamrih. Pada saat aku terjatuh, ibu yang membangkitkanku.
Aku bukan berasal dari keluarga yang semuanya serba ada. Aku juga bukan berasal dari keluarga yang biasa hidup mewah dengan segala kebutuhan terpenuhi. Bukan juga dari keluarga terhormat dan berpangkat. Bukan semua itu. Aku berasal dari keluarga pas – pasan dan bisa dibilang kurang mampu. Aku kecil kini telah beranjak remaja.  Banyak kebutuhan yang harus dipenuhi. Mulai dari makanan, pakaian, kebutuhan sekolah, dan perlengkapan lain yang harus segera dicukupi. Ayah dan ibuku berusaha untuk mencukupi semua itu. Tanpa ada keluhan mereka bekerja untukku. Ayah, seperti biasa membanting tulang. Ibu, membantu ayah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluargaku.
Aku sangat ingat perjuangan ini. Hari Minggu pertengahan Ramadhan, di bawah teriknya matahari, debu – debu bertebaran menghujani pasar tradisional itu.  Sesak oleh pembeli dan penjual yang berkeliaran. Tak teratur. Acak – acakan. Kalau ada truk yang akan memuat barang, maka semua pedagang harus mengangkat dagangannya dan menyingkir dari tempat itu.  Walaupun demikian para penjual tetap dengan semangat berteriak – teriak memanggil pembeli. Berharap dagangannya segera terjual. Aku berdiri menyaksikan semua kejadian hari itu. Salah satu penjual itu adalah ibuku. Aku mulai terpaku pada sosok tegar yang melahirkanku itu. Tubuhnya tak lagi sekuat lima belas tahun yang lalu. Garis – garis nakal sudah mulai merajai wajahnya. Keriput pun mulai menuai benih di kulitnya. Bibirnya agak pucat, mungkin karena puasa. Di bawah panasnya mentari siang, disaat lapar dan dahaga mulai merasuki badan dan berusaha menggoyahkan iman, ibuku masih tetap berjualan.
Ku tatap lekat ke arah jualan ibu. Cabe. Cabe yang nyaris tak layak untuk dimakan lagi. Warnanya kuning kemerah – merahan. Kering. Keriput. Itulah cabe yang dijual ibuku. Semua demi aku, anaknya. Pada waktu itu, aku datang kesana sengaja untuk meminta uang untuk membayar uang sekolah dan buku yang belum bisa dilunasi. Semua niat itu, sebelumnya telah ku sampaikan kepada ibu. Namun melihat keadaan itu, aku menjadi tak tega. Setelah jualan itu habis, ibu memberikan uang itu padaku dan mengatakan, “ Belajar yang rajin, nak …”. Dan aku menangis memeluk ibu.
Ibu, perkerjaanmu adalah cambuk penghantar kesuksesan masa depanku.

****

Remajaku tak berjalan dengan sempurna. Pada saat itu, aku pindah sekolah ke pondok pesantren. Namun, pesantren itu tak seperti yang ku bayangkan sebelumnya. Tak ada keteraturan yang jelas. Tak ada pengikatan. Semua bebas melakukan sesuka hati. Kalau pun ada, sesekali hanya didenda atau di jemur atas ulah mereka. Malang berpihak padaku. Aku hampir dikeluarkan dari sekolah karena ketahuan foto berdua dengan lelaki. Foto tersebut beredar hampir disetiap handphone teman – teman dan guruku. Berbagai macam tuduhan datang menyergapku. Tak dapat dihindari, teror pun terdampar kearahku. Dengan terang – terangan, mereka mengeluarkan caci maki, sumpah serapah dan sindiran kasar kepadaku. Dari semua itu, aku hanya bisa terdiam kaku di kamar. Aku takut. Bingung. Kejadian ini mengancam Ujian Nasionalku. Hingga orang tuaku pun dipanggil utnuk menghadap kepala sekolah. Saat itu, aku benar – benar melihat kekecewaan di mata ibu. Tidak hanya ibu, akan tetapi semua orang yang menyayangiku. Saat itu, tak ada yang bisa ku perbuat. Ibu datang menghampiriku. Aku yang lemah saat itu, hanya menangis menatap sorot mata sendunya. Ia menatapku kalu, aku takut akan tatapan itu. Aku tertunduk. Aku tak berdaya. Namun, pikiranku yang kacau dan takut sejenak terdiam. Ibu memelukku erat. Ku rasakan kesejukan dari pelukan itu. Ku balas erat pelukannya, dan tangis pun terpecah. Ketenangan sejenak yang tadi ku rasa kembali hilang saat butiran – butiran bening itu juga mengalir dari sudut matanya. Ku sadari, ia tak mampu menahan gejolak kekecewaan di hatinya. Hingga ia putuskan utnuk diam tanpa kata. Akhirnya, kekecewaan itu terlampiaskan dengan tangisan. Membuat isak semakin dalam. Aku menyesal. Sangat menyesal atas perbuatanku yang hina itu. Perlahan, ibu berbisik,
“Nak, jangan biarkan setetes kesalahan menghancurkan hidupmu. Bangkit, singkirkan kesalaham itu dengan cara berbuat yang lebih baik. KAMU HARAPAN IBU, NAK. Berani berbuat, berani juga menanggung resikonya.”
Sangat dalam ku resapi kata – kata itu. Seuntai mutiara hikmah yang datang dari suara kasihnya telah membangkitkan semangatku. Aku yang tadinya lemah, sekarang kuat dan penuh gairah. Aku yang tadinya gersang, perlahan mulai sejuk kembali. Aku harus bangkit. Aku harus bisa terima konsekuensi dari apa yang telah ku lakukan. Begitu ibu selalu ada untukku. Datang memberikan keindahan yang sesungguhnya. Hadir dan tebarkan cinta yang sebenarnya. Ia adalah malaikat hidupku, yang tebarkan kebaikan disetiap langkahnya.
Pada suatu malam, aku dibangunkan oleh nada dering handphone-ku yang terlalu keras. Dengan mata terpejam, ku raih handphone itu. Tiba – tiba nadanya mati sebagai pertanda panggilan telah dibatalkan. Aku menggerutu dalam hati. Sebelum melanjutkan tidur, ku perbaiki selimut yang tak lagi menemaniku. Namun, belum sempat untuk menarik selimut lagi, aku mendengar kran air terbuka di kamar mandi. Rasa penasaran muncul. Pelan – pelan aku berjalan mendekati kamar mandi itu. Aku melihat, ibuku sedang berwhudu.
Dalam sunyinya malam, ia rela bangun dari lelapnya tidur. Bangkit dan melawan dinginnya angin yang menampar raga yang sudah mulai beranjak tua itu. Ketenangan yang terpancar dari wajahnya, melahirkan kedamaian bagi siapa yang menatapnnya. Ku perhatikan gerak – geriknya dalam sholat. Tulang – tulangnya tak lagi sekokoh dulu. Sudah mulai rapuh seiring berjalannya waktu. Untuk berdiri saja, ia begitu lambat dan mencemaskan. Apa yang telah ku lakukan untuknya? Apa yang telah ku berikan untuknya selain membuatnya susah.
Dalam do’anya ,”Ya Allahu Rabbi, perlihatkan kebesaran-Mu kepada anakku. Tolong beri ia cahaya kasih – Mu hingga ia menyadari betapa indahnya hidup ini. Tolong tunjukkan kepadanya, betapa besar Engkau ya Allah, hingga ia tak lalai atas perintah – Mu. Mudahkan jalannya untuk mencapai tujuan hidupnya. Mudahkan ia dalam menggapai kesuksesannya ya Allah. Jangan biarkan hatinya mati karena kesalahan. Jangan Engkau berikan azab kepadanya atas dosa – dosanya. Ya Allah, hukumlah hamba – Mu yang lemah ini. Hukum hamba yang tak bisa memberikan yang terbaik untuknya. Hamba memenuhi kebutuhannya tak seperti apa yang dia harapkan. Hamba hanya memberikan gelar kemiskinan kepadanya. Hamba lalai akan titipan – Mu ya Allah Ampuni hamba. Ampuni segala kesalahan hamba. Tiada sekutu bagi – Mu dan bagi – Mu segala puji dan rasa syukur.”
Ibu, maafkan aku. Maafkan aku yang telah mengecewakanmu. Aku sayang ibu. Aku ingin ibu bahagia. Aku sangat mencintaimu ibu. Aku bangga memiliki ibu sepertimu. Aku Bangga, Bu. Hatiku berteriak.
Fajar kini telah menyinsing. Sesegera mungkin tetesan embun pagi menyeruak ke dalam jasad yang sudah mulai tua itu. Membenamkan wajah kegelisahan ke dalam pusaran kenyataan. Gelombang kehidupan rupanya sudah cukup kuat menghempaskan tubuhnya dengan keras. Meninggalkan berjuta pengalaman dan pemahaman yang tak ternilai walau dengan bijih emas. Niat yang lurus menghantarkannya ke dalam hempasan badai kelelahan. Memegang jemari lentik buah kasih sayangnya. Sedikit ia memejamkan pelupuk mata demi terlelapnya sang pelihat keindahan itu. Sosoknya semakin merenta. Tubuhnya yang kecil tak mudah terhempas lagi oleh gelombang kehidupan. Sudah banyak bekal yang ia kumpulkan dalam menapaki sisa-sisa pengembaraan. Tercium pekat kerasnya aroma kehidupan dari setiap hembusan nafas yang ia keluarkan.  Ia sudah kelihatan renta. Tanpa aku sadari semuanya berlalu begitu cepat. Secepat kilat ketika meluluhlantahkan menara tinggi di hidupnya.
Aku mulai menyadari satu hal. Satu kesadaran yang mungkin hanya berupa penyesalan. Ia mulai sendiri dengan kehidupannya. Namun ia tetap tegar setegar batu karang di lautan lepas. Perjuangan memang butuh pengorbanan yang tidak sedikit. Perjuangan menghantarkan satu jiwa kepada keutuhan raga. Ia begitu kuat menghadapi ini semua. Ingin rasanya ku urai setiap langkah kakinya ke dalam beberapa buku. Tapi aku rasa itu tak akan cukup walau menguraikan bentuk kakinya saja. Lalu ku berfikir, mungkinkah kuuraikan dalam sebuah do’a. Do’a sebagaimana ia mendo’akan aku agar aku berhasil.
Kini, tubuhnya telah terbaring lemah. Dayanya tak sekuat dulu. Hanya harapan yang masih tersisa. Ia masih bertahan dalam hidupnya yang tak lagi seindah dulu. Sakit yang mendera raganya, tak dapat ia hindari barang sedetikpun. Aku menyesal. Aku menyesal telah lalai kemaren. Kini pun, aku yang akan mengulang kisah mu dulu dalam hidupku. Dengan bekal yang telah kau beri, dengan cinta yang telah kau ajarka, aku kan melangkah menuju indahnya esok. Suatu saat nanti, tunggu kabar gembira dariku, Ibu. I Love you, Ibunda.
Setitik sejarah ini, ku persembahkan untukmu, ibu. Aku tahu, engkau tak kan lupa sedetik pun tentang semuanya. Ku tuliskan semua ini, karena aku tak kan melupakanmu disepanjang hidupku. Sajak – sajakmu, kan ikut melukis keindahan hidupku. Sekarang, esok dan nanti. Hidupku, kan seindah irama nadimu. Kan seindah perjuanganmu, untukku.

2 comment:

Unknown on 15 Oktober 2013 pukul 12.08 mengatakan...

ijin copy paste

Unknown on 15 Oktober 2013 pukul 12.10 mengatakan...

ijin copy paste

 

Tanpa Nama Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei