Setapak demi
setapak, raga kecilku ini telah menginjakkan sebuah catatan di hamparan bumi
yang tiada bertepi ini. Telah ku lalui hidup ini dengan penuh perjuangan.
Setiap langkahnya meninggalkan sebuah kenangan yang mewarnai setiap jejak itu.
Entah sudah berapa langkah yang telah ku lalui dalam hidup ini. Entah berapa
jejak kaki yang telah terukir dalam perjalanan hidupku. Semua terasa begitu
cepat dilalui.
Selama Sembilan
bulan sepuluh hari sebelum aku bisa merasakan ni’matnya bernafas bebas, melihat
segala keindahan dunia ini, aku telah ada dalam ruang gelap tanpa cahaya di
dalam rahim ibuku. Mulai dari setetes nutfah, segumpal darah, segumpal daging,
tulang – tulang, daging pembalut tulang hingga wujud yang bentuknya lain. Pada
saat itu, aku memulai jejak hidup dan perjuanganku. Sembilan bulan aku hidup
bersama dengan seorang ibu dalam satu raga. Saat ibu merasakan manisnya susu,
aku pun merasakan manisnya. Saat ibu memakan makanan yang enak, aku pun
merasakan enaknya. Hari berganti minggu,
bulan demi bulan pun dilewati ibu. Aku masih di dalam ruang hampa tanpa suara
itu. Terlelap dalam lamunan panjang yang akan segera berakhir ketika aku lahir
ke dunia nanti.
Keadaan pun sudah
jauh berbeda dari keadaan semula. Kini, usiaku dalam kandungan sudah semakin
tua. Disinilah, detik – detik kelelahan menghampiri ibundaku tercinta. Demi
aku, anak yang diharapkannya, ia tulus merawatku dalam kandungannya,
mengorbankan jiwa dan raganya. Lelah dan letih selama mengandungku, tak pernah
dijadikan beban dalam hidupnya. Dengan
kebesaran hati dan kesabarannya, ia redamkan letih penat yang menggelayuti, ia
singkirkan rasa capek yang selalu menyelimuti raganya. Susahnya berjalan
karena kandungannya yang semakin besar, tak dihiraukan.
Hingga tiba waktu
perjuangan dan pengorbanan terbesar dan terberat dalam hidupnya, yaitu pada
saat melahirkanku. Meregang nyawa, keringat bercucuran, urat nadinya bertarung
melawan lelah. Ibu berjuang antara hidup dan mati. Aku menyadari bahwa saat itu
kaki ibu antara kematian dan kehidupan. Mencoba mengerahkan semua tenaganya,
terus dan terus tanpa rasa lelah. Semua itu demi aku. Agar aku dapat melihat
warna warni dunia ini. Semua itu pun dilakukan dengan penuh keikhlasan.
Pengorbanannya, perjuangannya adalah hidupku.
Belum berakhir
jejak – jejak hidupku bersama ibu. Setelah aku lahir, aku pun masih tetap
bersama ketulusannya. Hidupku pun masih menyusahkannya. Bahkan, tanpa sosoknya
pun aku tak bisa berbuat apa – apa. Saat seorang manusia kecil untuk pertama
kalinya menangis, membuat gaduh suasana rumah, menjadikan seisi rumah penuh
dengan warna kebisingan oleh tangisan dan teriakanku. Namun, semua sabar, semua
peduli, bahwa aku adalah raga kecil yang
belum tahu apa – apa. Semua begitu mengerti aku.
Tangisan kecilku
ditengah malam yang sunyi, membangunkan lelap tidurnya yang lelah. Tak peduli
akan penat itu, ia tetap terjaga dan kembali melihatkan ketulusan kasihnya yang
tak terhingga. Aku kecil tak tahu akan
hal itu. Aku belum mengerti apa – apa. Aku hanya makhluk kecil yang baru diberi
izin melihat dunia. Aku hanya tetap menangis dan menyusahkan ibundaku, walaupun
ia tak merasa disusahkan. Malam menjadi saksi, pengorbanan ibu yang sangat
tulus itu.
Secuil aku kecil bercerita tentang masa – masa itu,
belum putus ketulusan dan pengorbanan ibu. Saat aku beranjak remaja, ibu yang
mengajari aku bagaimana aku harus bertata karma, bagaimana aku harus bergaul,
bagaimana aku harus menyikapi lingkunganku, bagaimana aku harus mandiri dan
bagaimana aku harus hidup dengan tidak berlebihan. Lebih dari itu, ibu
mengajari aku dari apa yang tidak aku tahu. Semua dilakukan ibu dengan tulus
dan ikhlas, tanpa pamrih. Pada saat aku terjatuh, ibu yang membangkitkanku.
Aku bukan berasal
dari keluarga yang semuanya serba ada. Aku juga bukan berasal dari keluarga
yang biasa hidup mewah dengan segala kebutuhan terpenuhi. Bukan juga dari
keluarga terhormat dan berpangkat. Bukan semua itu. Aku berasal dari keluarga
pas – pasan dan bisa dibilang kurang mampu. Aku kecil kini telah beranjak
remaja. Banyak kebutuhan yang harus
dipenuhi. Mulai dari makanan, pakaian, kebutuhan sekolah, dan perlengkapan lain
yang harus segera dicukupi. Ayah dan ibuku berusaha untuk mencukupi semua itu.
Tanpa ada keluhan mereka bekerja untukku. Ayah, seperti biasa membanting
tulang. Ibu, membantu ayah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluargaku.
Aku sangat ingat
perjuangan ini. Hari Minggu pertengahan Ramadhan, di bawah teriknya matahari,
debu – debu bertebaran menghujani pasar tradisional itu. Sesak oleh pembeli dan penjual yang
berkeliaran. Tak teratur. Acak – acakan. Kalau ada truk yang akan memuat
barang, maka semua pedagang harus mengangkat dagangannya dan menyingkir dari
tempat itu. Walaupun demikian para
penjual tetap dengan semangat berteriak – teriak memanggil pembeli. Berharap
dagangannya segera terjual. Aku berdiri menyaksikan semua kejadian hari itu.
Salah satu penjual itu adalah ibuku. Aku mulai terpaku pada sosok tegar yang
melahirkanku itu. Tubuhnya tak lagi sekuat lima belas tahun yang lalu. Garis –
garis nakal sudah mulai merajai wajahnya. Keriput pun mulai menuai benih di
kulitnya. Bibirnya agak pucat, mungkin karena puasa. Di bawah panasnya mentari
siang, disaat lapar dan dahaga mulai merasuki
badan dan berusaha menggoyahkan iman, ibuku masih tetap berjualan.
Ku tatap lekat ke arah
jualan ibu. Cabe. Cabe yang nyaris tak layak untuk dimakan lagi. Warnanya
kuning kemerah – merahan. Kering. Keriput. Itulah cabe yang dijual ibuku. Semua
demi aku, anaknya. Pada waktu itu, aku datang kesana sengaja untuk meminta uang
untuk membayar uang sekolah dan buku yang belum bisa dilunasi. Semua niat itu,
sebelumnya telah ku sampaikan kepada ibu. Namun melihat keadaan itu, aku
menjadi tak tega. Setelah jualan itu habis, ibu memberikan uang itu padaku dan
mengatakan, “ Belajar yang rajin, nak …”. Dan aku menangis memeluk ibu.
Ibu, perkerjaanmu
adalah cambuk penghantar kesuksesan masa depanku.
****
Remajaku tak
berjalan dengan sempurna. Pada saat itu, aku pindah sekolah ke pondok
pesantren. Namun, pesantren itu tak seperti yang ku bayangkan sebelumnya. Tak
ada keteraturan yang jelas. Tak ada pengikatan. Semua bebas melakukan sesuka
hati. Kalau pun ada, sesekali hanya didenda atau di jemur atas ulah mereka.
Malang berpihak padaku. Aku hampir dikeluarkan dari sekolah karena ketahuan
foto berdua dengan lelaki. Foto tersebut beredar hampir disetiap handphone
teman – teman dan guruku. Berbagai macam tuduhan datang menyergapku. Tak dapat
dihindari, teror pun terdampar kearahku. Dengan terang – terangan, mereka
mengeluarkan caci maki, sumpah serapah dan sindiran kasar kepadaku. Dari semua
itu, aku hanya bisa terdiam kaku di kamar. Aku takut. Bingung.
Kejadian ini mengancam Ujian Nasionalku. Hingga orang tuaku pun dipanggil utnuk
menghadap kepala sekolah. Saat itu, aku benar – benar melihat kekecewaan di
mata ibu. Tidak hanya ibu, akan tetapi semua orang yang menyayangiku. Saat itu,
tak ada yang bisa ku perbuat. Ibu datang menghampiriku. Aku yang lemah saat
itu, hanya menangis menatap sorot mata sendunya. Ia menatapku kalu, aku takut
akan tatapan itu. Aku tertunduk. Aku tak berdaya. Namun, pikiranku yang kacau
dan takut sejenak terdiam. Ibu memelukku erat. Ku rasakan kesejukan dari
pelukan itu. Ku balas erat pelukannya, dan tangis pun terpecah. Ketenangan
sejenak yang tadi ku rasa kembali hilang saat butiran – butiran bening itu juga
mengalir dari sudut matanya. Ku sadari, ia tak mampu menahan gejolak kekecewaan
di hatinya. Hingga ia putuskan utnuk diam tanpa kata. Akhirnya, kekecewaan itu
terlampiaskan dengan tangisan. Membuat isak semakin dalam. Aku menyesal. Sangat
menyesal atas perbuatanku yang hina itu. Perlahan, ibu berbisik,
“Nak, jangan
biarkan setetes kesalahan menghancurkan hidupmu. Bangkit, singkirkan kesalaham
itu dengan cara berbuat yang lebih baik. KAMU HARAPAN IBU, NAK. Berani berbuat,
berani juga menanggung resikonya.”
Sangat dalam ku resapi
kata – kata itu. Seuntai mutiara hikmah yang datang dari suara kasihnya telah
membangkitkan semangatku. Aku yang tadinya lemah, sekarang kuat dan penuh
gairah. Aku yang tadinya gersang, perlahan mulai sejuk kembali. Aku harus
bangkit. Aku harus bisa terima konsekuensi dari apa yang telah ku lakukan.
Begitu ibu selalu ada untukku. Datang memberikan keindahan yang sesungguhnya.
Hadir dan tebarkan cinta yang sebenarnya. Ia adalah malaikat hidupku, yang
tebarkan kebaikan disetiap langkahnya.
Pada suatu malam,
aku dibangunkan oleh nada dering handphone-ku yang terlalu keras. Dengan
mata terpejam, ku raih handphone itu. Tiba – tiba nadanya mati sebagai pertanda
panggilan telah dibatalkan. Aku menggerutu dalam hati.
Sebelum melanjutkan tidur, ku perbaiki selimut yang tak lagi menemaniku. Namun,
belum sempat untuk menarik selimut lagi, aku mendengar kran air terbuka di
kamar mandi. Rasa penasaran muncul. Pelan – pelan aku berjalan mendekati kamar
mandi itu. Aku melihat, ibuku sedang berwhudu.
Dalam sunyinya
malam, ia rela bangun dari lelapnya tidur. Bangkit dan melawan dinginnya angin
yang menampar raga yang sudah mulai beranjak tua itu. Ketenangan yang terpancar
dari wajahnya, melahirkan kedamaian bagi siapa yang menatapnnya. Ku perhatikan
gerak – geriknya dalam sholat. Tulang – tulangnya tak lagi sekokoh dulu. Sudah
mulai rapuh seiring berjalannya waktu. Untuk berdiri saja, ia begitu lambat dan
mencemaskan. Apa yang telah ku lakukan untuknya? Apa yang telah ku berikan
untuknya selain membuatnya susah.
Dalam do’anya ,”Ya
Allahu Rabbi, perlihatkan kebesaran-Mu kepada anakku. Tolong beri ia cahaya
kasih – Mu hingga ia menyadari betapa indahnya hidup ini. Tolong tunjukkan
kepadanya, betapa besar Engkau ya Allah, hingga ia tak lalai atas perintah –
Mu. Mudahkan jalannya untuk mencapai tujuan hidupnya. Mudahkan ia dalam
menggapai kesuksesannya ya Allah. Jangan biarkan hatinya mati karena kesalahan.
Jangan Engkau berikan azab kepadanya atas dosa – dosanya. Ya Allah, hukumlah
hamba – Mu yang lemah ini. Hukum hamba yang tak bisa memberikan yang terbaik
untuknya. Hamba memenuhi kebutuhannya tak seperti apa yang dia harapkan. Hamba
hanya memberikan gelar kemiskinan kepadanya. Hamba lalai akan titipan – Mu ya
Allah Ampuni hamba. Ampuni segala kesalahan hamba. Tiada sekutu bagi – Mu dan
bagi – Mu segala puji dan rasa syukur.”
Ibu, maafkan aku.
Maafkan aku yang telah mengecewakanmu. Aku sayang ibu. Aku ingin ibu bahagia.
Aku sangat mencintaimu ibu. Aku bangga memiliki ibu sepertimu. Aku Bangga, Bu. Hatiku berteriak.
Fajar kini telah
menyinsing. Sesegera mungkin tetesan embun pagi menyeruak ke dalam jasad yang
sudah mulai tua itu. Membenamkan wajah kegelisahan ke dalam pusaran kenyataan.
Gelombang kehidupan rupanya sudah cukup kuat menghempaskan tubuhnya dengan
keras. Meninggalkan berjuta pengalaman dan pemahaman yang tak ternilai walau
dengan bijih emas. Niat yang lurus menghantarkannya ke dalam hempasan badai
kelelahan. Memegang jemari lentik buah kasih sayangnya. Sedikit ia memejamkan
pelupuk mata demi terlelapnya sang pelihat keindahan itu. Sosoknya semakin
merenta. Tubuhnya yang kecil tak mudah terhempas lagi oleh gelombang kehidupan.
Sudah banyak bekal yang ia kumpulkan dalam menapaki sisa-sisa pengembaraan.
Tercium pekat kerasnya aroma kehidupan dari setiap hembusan nafas yang ia
keluarkan. Ia sudah kelihatan renta.
Tanpa aku sadari semuanya berlalu begitu cepat. Secepat kilat ketika
meluluhlantahkan menara tinggi di hidupnya.
Aku mulai menyadari
satu hal. Satu kesadaran yang mungkin hanya berupa penyesalan. Ia mulai sendiri
dengan kehidupannya. Namun ia tetap tegar setegar batu karang di lautan lepas.
Perjuangan memang butuh pengorbanan yang tidak sedikit. Perjuangan
menghantarkan satu jiwa kepada keutuhan raga. Ia begitu kuat menghadapi ini
semua. Ingin rasanya ku urai setiap langkah kakinya ke dalam beberapa buku.
Tapi aku rasa itu tak akan cukup walau menguraikan bentuk kakinya saja. Lalu ku
berfikir, mungkinkah kuuraikan dalam sebuah do’a. Do’a sebagaimana ia
mendo’akan aku agar aku berhasil.
Kini, tubuhnya
telah terbaring lemah. Dayanya tak sekuat dulu. Hanya harapan yang masih
tersisa. Ia masih bertahan dalam hidupnya yang tak lagi seindah dulu. Sakit
yang mendera raganya, tak dapat ia hindari barang sedetikpun. Aku menyesal. Aku
menyesal telah lalai kemaren. Kini pun, aku yang akan mengulang kisah mu dulu
dalam hidupku. Dengan bekal yang telah kau beri, dengan cinta yang telah kau
ajarka, aku kan melangkah menuju indahnya esok. Suatu saat nanti, tunggu kabar
gembira dariku, Ibu. I Love you, Ibunda.
Setitik sejarah
ini, ku persembahkan untukmu, ibu. Aku tahu, engkau tak kan lupa sedetik pun
tentang semuanya. Ku tuliskan semua ini, karena aku tak kan melupakanmu
disepanjang hidupku. Sajak – sajakmu, kan ikut melukis keindahan hidupku.
Sekarang, esok dan nanti. Hidupku, kan seindah irama nadimu. Kan
seindah perjuanganmu, untukku.
2 comment:
ijin copy paste
ijin copy paste
Posting Komentar