Gunung Merapi, Sumatera Barat adalah salah satu gunung berapi
aktif yang masih banyak dikunjungi oleh para pendaki baik dari organisasi
[sispala, mapala] maupun petualang bebas
[FreeLance, Amatiran]. Selain kondisi medannya yang tidak berat, juga hamparan bukit
barisan dan danau Singkarak serta
kekokohan Gunung singgalang menjadi pemandangan yang sangat mengagumkan.
Tak hanya itu, para pendaki juga dapat menikmati indahnya pemandangan sunrise
dari puncak merpati.
Ini bukan kali pertamanya gue menapakkan kaki di sini. Ya, di
sini, di cadas Puncak Merapi. Pemandangan kearah Singgalang masih sama, masih
indah seperti pertama kali gue duduk di sini. Singgalang masih kokoh menjulang.
Masih menyimpan permata hijau murni yang menyejukkan. Cadas ini pun masih sama,
masih kuat dan perkasa. Tapi entah kenapa, gue selalu kehabisan kata-kata untuk
mengungkapkan kekaguman ini. Subhanallah.
Gue hampir lupa, hari ini Sabtu, 28 September 2013 pukul 1700
WIB. Gue bersama 8 orang lainnya [Bg Najim, Bg daus, K’ Ijuih (Mapala
Jamarsingsia); Bg Lalex (Medan, Mapala Juga, tapi gue lupa namanya); Bg Uchup
(Mapala Teknik UI); Bg Chairul (Taruna Siaga Bencana); Da Zul, Bg bejo
(Freelance); dan gue (karena gue manggil abg n kak, otomatis gue yang paling
kecil)] mulai melangkahkan kaki melewati pos penjagaan. BKSDA, pintu hutan
telah terlewati dengan penuh canda baru yang renyah. Berhenti untuk ishoma.
Setelah Isya, kami melanjutkan perjalanan menuju puncak, kira-kira 4 jam lagi
bagi orang yang sudah biasa mendaki. Tapi tidak untuk kami, terutama gue. Gue
terbiasa jalan santai, nggak buru-buru. Jadi, mau ga mau mereka semua juga harus santai.
Ternyata cuaca sepertinya tak bersahabat dengan kami. Hujan,
badai dan kabut menemani kami. Dingin mulai merasuki, menggigil, sesak nafas,
tapi perjalanan tetap harus dilanjutkan. Akhirnya kami sampai di cadas. Dirikan
tenda. Sepertinya tidak ada waktu untuk tertawa renyah seperti tadi. Tidak ada
waktu untuk menatap pemandangan malam Bukittinggi dari sini. Tidak ada waktu untuk saling bercengkrama
sambil menutup malam menunggu pagi. Sepertinya memang tidak ada waktu untuk
bersuara mala mini selain ‘ngorok’. Ah, tak seperti yang gue bayangin
sebelumnya. Semua telah tertidur, kecuali gue.
[03.00 WIB, 28 September 2013]
Gue keluar tenda. Gue nggak percaya dengan apa yang gue lihat.
Indah banget. Seperti hamparan warna-warni
bintang (Gila, bintang cuma satu warna). Padang Panjang dan Bukittinggi
seketika berubah menjadi samudera berlian yang bersinar. Kabut yang tadinya
menutupi kawasan itu menyingkir. Gue hanya bisa terdiam, sesak, bingung
bagaimana cara mengungkapkan keindahan apa yang gue lihat. Kecewa yang tadinya
menggelayuti pikiran gue berubah menjadi bahagia yang bahkan jika ada
kapasitasnya akan lebih dari kapasitas itu. Pemandangan yang bisa gue lihat
dengan mata minus aja seindah ini, apalagi dengan mata normal. Indah banget
pokoknya.
[07.00 WIB, 28 September 2013]
Kecewa lagi. Gue nggak bisa lihat sunrise. Kabut telah kembali.
Bahkan jarak pandang hanya sekitar 2 meter. Jadi gue putuskan untuk tidur saja.
Toh, semalaman gue nggak bias tidur. Yupp, gue tidur. Belum lama tidur, gue
udah dibangunin oleh riuh angin kencang. Nggak jadi tidur. Akhirnya gue dan kk
Mona hunting foto aja. Walaupun berkabut, setidaknya ada moment yang bisa gue
ingat.
[09.00 WIB, 28 September 2013]
Itulah waktu sekarang. Di sini. Sebaik apa pun rencana kita, jauh lebih baik rencana Allah untuk kita.
Gue nggak bisa lihat sunrise, nggak bisa lihat danau Singkarak. Tapi gue bisa
lihat sebesar apa diri gue. Gue bisa lihat kalo ketegaran gue tak setegar
cadas. Satu hal yang gue sadari di sini, tak ada yang perlu dibanggakan dari
hidup ini. Tak ada yang perlu disombongkan.
0 comment:
Posting Komentar